Jumat, 11 Februari 2011

bikin novel di kala maag

well w lagi sakit nih,,,, mungkin w kena maag kali ya? udah 2 hari ini perut w sakit melulu ngelilit githu.... w dah nyoba bawa tidur ilang sie tapi pas bangun malah sakit lagi.... sompret nie perut aduh w coba makan malahsakit padahal ga banyak! sial banget sie nie perut, udah deh dari pada nambah parah hari ini w ga kerja, sori ya mas!!!
di tengah-tengah sakit gini w sempet-sempetin buat nulis lagi eh ternyata otak w makin parah ga mau keluar ide2 yang bagus cerita yang seharusnya w buat sedih di akhir eh malah bahagia ya ga papa deh bagus juga sie ceritanya tinggal w edit lagi aja sie, trus w print dan w kasih liat anak-anak buat minta komentar mereka tapi buat bonus yang udah nunggu chiklit w... w kasih cerpen deh judulnya sweet seventeen 17 (yaiyalah seventeen 17)

“Pagi ladies!”sapaku memasuki kelas.

“Pagi, na!”balas Ghea dan beberapa temanku.

Di ujung kelas sekelompok mata menatapku licik. Aku sangat hafal tatapan licik itu. Aku duduk di samping Ghea, sahabatku. Lagi-lagi Ku mendengar bisik-bisik ejekan dari ujung kelas. Aku juga sangat hafal bisik-bisik mengejek itu. Beginilah hari-hariku di SMA Putri Cendikia.

“Santai aja, na”hibur Ghea.

Bel berbunyi, tanda pelajaran dimulai. Bu firdi? Bukankah sekarang pelajaran biologi, bukan fisika.

“Selamat Pagi, anak-anak! Karena Pak Budiman sedang ada keperluan. Pelajaran pertama diganti dengan pelajaran terakhir. Sekarang Ibu akan bagikan nilai fisika kalian.”

Tamatlah riwayatku! Mudah-mudahan keajaiban datang padaku.

“Dinda Alina.” “Gheanita.” Satu per-satu murid maju ke depan mengambil nilainya. Hingga akhirnya namaku dipanggil. “Nirina Pittaloka.” Perlahan ku buka hasil ulanganku. 90. Nilai yang sempurna. Tunggu dulu, disini tertulis NAMA: Reana Ramanda. Kertas ulangan ini milik Rere. Wah, ada yang tidak beres dengan nilaiku. Mataku melirik Rere yang duduk di belakang. Sepertinya ia akan protes.

“Bu! Ini bukan punya saya. Nilainya jelek. Saya nggak mungkin dapat nilai 40.”

Jangan-jangan itu punyaku! “Kamu yakin?”

“Yakinlah, bu! Namanya juga bukan punya saya. Nggak ada nama saya disini. Yang ada Nirina Pittaloka.”

Semua mata tertuju padaku. Mereka memandangku dengan tatapan merendahkan. Betapa malunya aku saat ini. Aku benci fisika! Aku benci Rere! Aku benci!

Bu Firdi berpikir sejenak. Setelah itu ia meminta maaf dan menyuruhku menukar kertas ulangan yang ku dapati. Dengan gaya sinis Rere memberi kertas ulangan yang sebenarnya milikku dan mengambil kertas ulangan miliknya. Bu Firdi melanjutkan pelajaran.

“Duh,, malu banget deh gue, kalo sampe itu kertas ulangan milik gue. Untung aja nilai fisika gue bagus!”sindir Rere kencang, setelah pelajaran Bu Firdi usai. Aku jijik mendengarnya. Betapa sombongya Rere.

“Selamat ya, Re! lo emang berhak mendapatkan nilai 90. Bukan 40!”Giliran Tamara menyindirku. Rere CS tertawa dengan nada melecehkan. Ghea mencoba menghibur diriku. Tapi, sungguh aku tak mampu mengendalikan diriku.

“Apa-apaan si, lo! Gue tahu lo pinter fisika. Tapi jangan merendahkan gue dong!”

“Nina, Nina,, harusnya lo itu berterima kasih sama gue. Dengan adanya gue lo bisa termotivasi buat naikin nilai fisika lo. Bukannya marah ke gue.”

“Re, gue kasih tahu satu hal sama lo. Gue bisa memotivasi diri gue sendiri. TANPA BANTUAN LO!”

“Oh, ya?! Gue nggak yakin kalo lo bisa”ketus Rere. Tamara dan Lala mengiyakan. Aku berjalan mendekati Rere. Hingga di depan wajahnya.

“Jangan lo pikir lo yang paling bisa! Jangan lo merasa paling pintar ketimbang gue!”ucapku serius.

“Gimana ya,, kenyataannya kan gue emang paling pintar dibanding lo”ujar Rere santai. Rasa sakit mulai menusuk hatiku. Rere rese!

Tanpa pikir panjang aku menampar pipi Rere. Mataku menatap dalam-dalam matanya. Waw, kita beradu mata. “Cewek nggak tahu diri!”ejek Rere yang mulai menjambak rambut panjangku. Otomatis, aku juga menjambak rambut seginya. Lalu mengacak-acakannya.

“Rere.. Rere..Rere..”sorak Tamara dan Lala membela Rere.

“Nina.. Nina.. Nina..”sorak Ghea dan Nanda membelaku.

Terjadilah pertengkaran sengit antara aku dengan Rere. Tiba-tiba Bu Ayu Bu Kepala Sekolah datang memasuki ke kelas. Para penyorak seketika berhenti bersorak. “Rere, Nina, ikut ibu ke ruangan!”

Nasib-nasib… Hari itu juga orangtuaku dipanggil. Karena LAGI-LAGI aku bertengkar dengan Rere di sekolah. Lebih sedihnya, aku dan Rere diskorsing selama 3 hari. Papa dan Mama datang dan membawaku pulang ke rumah. Mereka sangat marah.

“Buat ulah lagi ya, de”tanya Kak Hari, kakakku di ruang tengah saat melihatku pulang.

“Bukan urusan kakak!”jawabku tegas. Aku duduk di seberang Kak Hari.

“Hari, jaga adik kamu baik-baik!”perintah Papa lalu masuk ke kamar. Diikuti oleh Mama.

“Hari nggak mau, pa. Hari mau dia intropeksi diri dulu!”kata Kak Hari setengah teriak.

Tak lama kemudian, Papa dan Mama mulai bertengkar. “Papa sih, terlalu sibuk. Jadi kayak gini kan akhirnya.” “Ma, Nina kan tanggung jawab mama juga. Harusnya Mama salahin diri mama juga!! Seorang Mama yang nggak becus jaga anak!” Telingaku pun mulai pengang. Menyebalkan sekali! Aku kan bukan anak kecil lagi. Aku sudah remaja yang tidak perlu dijagain.

“Pa! Kak! Denger ya, Aku bisa jaga diri aku sendiri.” Kak Hari tak menanggapi omonganku. Ia pergi dengan motor mionya. Tak lama kemudian Papa pergi. Disusul oleh Mama. Aku Sendirian. Tanpa ada siapa pun di rumah.

“Gue mau bebas, Ghe!” bentakku di telepon.

“Sorry, na. Gue nggak tahu lagi harus ngomong apa. Bukannya gue nggak mau ngebantuin lo. Tapi gue…”

“Lo nggak ngerasain apa yang gue rasain! Itu kan alasan lo!!”semburku.

“Nina! Gue kan belum selesai ngomong.”

“Kenapa sih, lo nggak mau ngertiin gue?!”tanyaku. final.

Klik. Telepon kututup. Harusnya tidak kuhubungi Ghea dari awal. Hiks.

Kenapa tak ada yang mengerti aku? Ghea, Mama, Papa, Kak Hari… Kenapa kalian tidak ada dipihakku? Kenapa kalian tak mengerti perasaanku? Harus kepada siapa lagi aku berlindung? Tuhan? Ugh, ku rasa allah tengah membenciku. Sudah terlalu lama aku melupakannya. Sudah terlalu lama aku menghujatnya. Sudah terlalu lama aku membiarkan perintahnya dan menjalankan larangannya.

Ku melangkah menuju cermin. Menatap seseorang di dalamnya. Sesorang dengan mata berair. Wajah merah padam. Rambut ikal panjang acak-acakan. Sangat jelek! Siapa seseorang itu? “Itu kamu, Nina”jawab kata hatiku. Itu aku. Aku. Aku. Aku yang kini tak mampu menyelesaikan masalah-masalahku. Masalah Mama dan Papa. Sebentar lagi aku akan menjadi anak brokenhome. Masalah dengan Rere CS. Masalah pada pelajaran fisika. Masalah dengan Kak Hari.

Hhh.. Betapa aku harus menghela napas panjang. Oh god! Betapa aku harus senang hati tepat pukul 24.00 usiaku beranjak 17 tahun. Sungguh tidak mungkin .merayakan hari istimewa dengan kondisi hati sepert ini. Mungkin aku tidak akan merasakan sweet seventeen. Tidak akan. Dan tidak akan pernah. Kalaupun iya, aku akan merayakannya seorang diri..

Sunyi… sepi… Mama dan papa entah dimana. Yang ku tahu Mama telah mengunciku di rumah. Aku terjebak. Aku tak bisa kamana-mana. Perutku berbunyi tanda ku lapar. Ah,, biarlah. Kau tahu? Kak Hari sangat menyebalkan. Sampai kapan ku bertengkar dengan Kak Hari? Huh, kapan-kapan! Kehadirannya di rumah membuatku muak. Sangat muak. Kak Hari egois!

Papa dan Mama?

Di rumah mereka hanya membuat telingaku pengang. Aktifitas mereka di rumah hanya marah-marah, bertengkar lalu pergi. Kemudian marah-marah, bertengkar lalu pergi. Kemudian marah-marah, bertengkar lalu pergi. Seakan mereka tidak tahu ada aku dan kak Hari.

Kini aku merasa sangat sendiri. Very lone. Kenapa sih, segala sesuatu jadi otoriter. Semua orang nggak bisa mengeri aku sedikit pun. Aku harus berbuat apa supaya semua mengerti aku. Nangis? Percuma saja kalau nangis, siapa yang peduli. Marah? sia-sia. Hanya membuat aku lelah. Ihhh.. aku bener-bener nggak tahan!!

“Another day has gone.. Iam still all alone.. How could this be.. You’re not here with me.. You never said good bye.. Someone tell me why.. Did you have to go.. And leave my world so could..”nyanyiku lirih.

Semua lampu kumatikan. Gelap, memang. Tapi itu akan membuatku sedikit tenang. Kutengkurapkan tubuhku di atas kasur. Teng! Teng! Teng! Grandfather clock berbunyi. Kumengarahkan mataku ke beker di sampingku. Sudah ku kira pasti jam sudah menunjukan pukul 24.00. “Happy birthday to me! Happy birthday to me! Happy birthday,, Happy birthday,, Happy birthday to me!”kataku pada sendiri.

Aku melanjutkan nyanyianku. “Everyday I sit and ask my self.. How did love slip away.. Something whispers in my ear and say..” Tiba-tiba… “Selamat ulang tahun Nina..” Suara yang sangat ku kenal. Seseorang menyalakan lilin. Mama! Mama mengenakan jilbab! Papa! Kak Hari! Ghea! Mama membawa kue ulang tahun ditengahnya tertancap angka 17. Wah.. sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Happy b’day ya, na! semoga lo dikasih umur panjang sama yang diatas. Dan… semoga lo diberi kecerdasan fisika yang bisa ngalahin Rere”kata Ghea menyalamiku.“Thanks Ghe. Lo koq bisa ada disini?”

“Bisa dunk! Maafin gue ya, na. Tadi gue nggak bisa ngebantuin lo.” “Nggak papa, Ghe. Gue udah seneng banget lo bisa datang.”

“Met ultah ya, de. Sorry ya, tadi siang kakak buat ade jengkel.” Seulas senyum tersungging di bibir Kak Hari. Kami berpelukan hangat. “Semoga ade jadi anak yang baik dan berguna buat Papa dan Mama.” “Amieenn!!!”

“Happy birthday 17th. Maafin Papa dan Mama ya, de. Papa tahu ade juga jengkel banget sama Papa dan Mama. Maafin Mama dan Papa ya. Semoga ade bisa menghilangkan sifat-sifat buruk ade.” Papa dan Mama memelukku.

“Thanks semuanya. Maafin Nina juga ,ya..” “Ade nggak perlu minta maaf. Kita udah maafin ade. Iya kan, Pa, Ma, Ghe?” Kata Kak Hari meyakinkan. Mereka mengangguk cepat.

“Ayo de,potong kuenya!”seru Mama. Aku memotong kueku. Potongan pertama ku berikan pada Mama. Kedua Papa. Kemudian Kak Hari dan Ghea.

“Mama dan Papa punya hadiah buat ade.” Mama mengeluarkan tas produk robbani dan memberikannya padaku. Ada jilbab-jilbab dan baju-baju robbani. “Ma?” Hmm.. Mama nggak salah apa, ngebeliin aku jilbab. Aku kan nggak pernah pakai jilbab lagi.

“De, Mama dan Papa sudah memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Inilah satu-satunya jalan agar semuanya kembali normal. Papa harap ade bisa ngerti”jelas Papa panjang. Otakku berpikir keras. Ada benarnya juga sih. “Iya Pa, ade ngerti.” Papa dan Mama tersenyum. Allah… perlahan kurasakan auraMu jatuh ke dalam lubuk hati. Tenang. Setenang air laut.

“Na, coba pakai jilbabnya. Sekolah kita pasti heboh kalau lihat lo pakai jilbab. Gue mau lihat lo pakai jilbab”kata Ghea. “Iya, iya aja deh. Biar cepet.” Segera ku pakai jilbab di kepalaku. Lalu bergaya di cermin. “Cantik, na. lo cantik banget!!” “Biasa aja ah..”jawabku. “Ck..ck.. anak Papa udah semakin cantik aja.” “Iya dunk! Anak Mama ini kan, sudah 17 tahun lho, Pa.” Rupanya Mama dan Papa sudah akur. Ghea pamit pulang. Papa, Mama dan Kak Hari telah menungguku untuk makan malam bersama.

Hhh.. semuanya bahagia. Semuanya telah selesai. Kini aku punya tekad untuk bangkit. Bangkit dari nilai 40. Bangkit dari sifat-sifat burukku. Aku yakin aku pasti bisa. Benar. Aku pasti bisa. Ku tatap diriku yang sekarang di cermin. Berwajah manis penuh bahagia. Aku sadar hidup tanpa masalah bagaikan masakan tanpa bumbu. Kedengarannya agak lucu. Tetapi itulah adanya.

Aku telah melewati setengah problematika remaja. Dan yang lebih mengejutkan, aku sekarang memakai jilbab. Kata Mama sekarang aku adalah muslimah. Aku masih takut dan ragu. Aku takut tak sanggup menjalankan perintahnya. Aku takut tak sanggup menjauhi larangannya.

Ya allah..kuatkan aku. Tolong bimbing aku ke jalan lurusmu. Lindungiku dari putus asa. Kupasrahkan semuanya hanya kepadamu. Berilah aku kecerdasan dan panjang umur. Terima kasih sudah memberikan cahayaMu kepadaku. Kusebutkan ini dari lubuk hati yang terdalam. Aku mencintaiMu.. dan merindukanMu selalu..

gimana bagus gak.... comment di facebook di terima,, cari aja namikaze yunus minato atau via email aja

Tidak ada komentar: